Mengapa Mencium Hajar Aswad Dan Mengusap Rukun Yamani?
MENGAPA MENCIUM HAJAR ASWAD DAN MENGUSAP RUKUN YAMANI?
Pelajaran Akidah dari Ibadah Haji[1]
Thawaf
Ibadah pertama yang dilakukan oleh setiap kaum Muslimin yang hendak menunaikan ibadah haji atau umrah setibanya di Mekah adalah ibadah thawaf. Imam al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , Beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan:
أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ
Yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah adalah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ kemudian melakukan ibadah thawaf[2]
Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu tentang ibadah haji Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:
حَتَّى إِذَا أَتَيْنَا الْبَيْتَ مَعَهُ اسْتَلَمَ الرُّكْنَ فَرَمَلَ ثَلاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا
Ketika kami sampai di Ka’bah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlari-lari kecil tiga putaran dan berjalan empat putaran
Dalil-dalil tentang ibadah thawaf begitu banyak, namun pembicaraan kita kali ini bukan tentang ibadah thawaf melainkan tentang mencium Hajar Aswad dan mengusap rukun yamani yang dilakukan saat thawaf. Mengapakah kaum Muslimin mencium atau mengusap Hajar Aswad dan hanya mengusap Rukun Yamani? Apakah karena mereka yakini bahwa itu bisa memberikan manfaat dan menolak bahaya?
Mencium Hajar Aswad dan Mengusap Rukun Yamani
Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma.
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ اسْتَلَمَ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ أَوَّلَ مَا يَطُوفُ حِينَ يَقْدَمُ يَخُبُّ ثَلاثَةَ أَطْوَافٍ مِنَ السَّبْعِ
Aku pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di Mekah jika telah mengusap Hajar Aswad, diawal ibadah thawaf, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercepat langkah pada tiga putaran (pertama) dari tujuh putaran[3]
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan:
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَاسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ مَضَى عَنْ يَمِينِهِ فَرَمَلَ ثَلاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Mekah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki masjidil Haram lalu mengusap Hajar Aswad, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu di arah sebelah kanan Hajar Aswad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlari kecil pada tiga putaran dan berjalan pada empat putaran …[4]
Inilah yang menjadi pegangan kaum Muslimin dalam mencium Hajar Aswad atau mengusapnya. Mereka melakukan itu dalam rangka mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan, bukan karena meyakini bahwa Hajar Aswad bisa mendatangkan manfaat atau bisa mendatangkan celaka. Oleh karena itu Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu mengatakan:
إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
Sesugguhnya saya tahu bahwa kamu itu hanya sebongkah batu yang tidak bisa mendatangkan manfaat juga tidak bisa mendatangkan bahaya. Kalau bukan karena saya melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka saya tidak akan menciummu. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim][5]
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Umar Radhiyallahu anhu mengucapkan perkataan itu karena manusia kala itu belum lama meninggalkan peribadatan mereka terhadap berhala-berhala. Umar Radhiyallahu anhu khawatir orang-orang bodoh mengira bahwa mengusap Hajar Aswad merupakan bentuk pemuliaan terhadap sebagian batu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyah. Umar Radhiyallahu anhu ingin memberitahu manusia bahwa mengusap Hajar Aswad itu hanya dalam rangka mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan karena batu itu bisa memberikan manfaat atau mendatangkan bahaya, sebagaimana keyakinan orang-orang Arab terhadap berhala-berhala mereka.[6]
Yang disyari’atkan terkait Hajar Aswad itu adalah menciumnya saja atau mengusapnya dengan tangan jika tidak memungkinkan untuk menciumnya atau memberikan isyarat kearahnya jika tidak memungkinkan melakukan dua hal di atas. Begitu juga disyari’atkan untuk mengusap Rukun Yamani. Dalam kitab Shahih al-Bukhâri dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhma mengatakan:
لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ
Saya tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian dari Ka’bah kecuali dua rukun yamani (yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani)[7]
Berdasarkan keterangan ini diketahui bahwa tidak disyari’atkan mengusap bagian manapun dari Ka’bah selain dua ini, yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Rukun-rukun (pojok-pojok) Ka’bah tidak ada yang disyari’atkan untuk diusap kecuali dua rukun yamani[8], sedangkan dua rukun syamiyain (dua rukun Ka’bah yang menghadap kearah Syam) tidak disyari’atkan untuk diusap. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengusap dua rukun yamani saja … Hajar Aswad diusap dan dicium, sementara Rukun Yamani hanya diusap, tidak dicium … adapun semua sisi Ka’bah, Maqam Ibrahim Alaihissallam , semua yang ada dimuka bumi seperti wilayah masjid dan pagarnya, kuburnya para nabi atau orang-orang shalih, misalnya kamar Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, magharah Ibrahim[9], tempat Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat dan kuburan-kuburan para nabi dan orang-orang lainnya begitu juga shukhrah (batu besar yang berada di) baitul Maqdis, maka ini semua tidak boleh diusap dan cium berdasarkan kesepakatan para Ulama.”[10]
Diantara pelajaran penting yang harus diketahui oleh seorang Muslim terkait masalah ini yaitu mencium dan mengusap itu tidak disyari’atkan kecuali di tempat ini saja (yaitu di Ka’bah-red), karena tidak ada nash yang menjelaskan tentang disyari’atkannya amalan mengusap dan mencium pada selain dua tempat itu. Dan orang Muslim melakukan itu dalam rangka mentaati Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan karena meyakini bahwa keduanya bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, sebagaimana telah dijelaskan di awal ketika membawakan perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu . Perkataan itu diucapkan dihadapan banyak orang dalam rangka mengajari mereka saat mencium hajar Aswad.
Nash-nash di atas juga menunjukkan bahwa menyentuh tembok Ka’bah selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani begitu juga mencium selain Hajar Aswad tidak termasuk sunnah, karena perbuatan mengusap atau menciumi tembok Ka’bah tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Jika perbuatan ini tidak disyari’at pada tembok Ka’bah itu sendiri, (lalu bagaimana dengan masjid-masjid dan tempat lain?!-red) Padahal kita ketahui bahwa kehormatan semua masjid dan tempat-tempat lainnya berada dibawah derajat kehormatan Ka’bah.
Perbuatan mencium dan mengusap juga tidak disyari’atkan pada Maqam Ibrahim yang disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla.:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. [Al-Baqarah/2:125]
Padahal kita ketahui bahwa maqam Ibrahim yang ada di Syam atau di tempat lain juga maqam-maqam para Nabi lainnya derajatnya dibawah derajat maqam Ibrahim yang di Mekah, dimana kaum Muslimin diperintahkan untuk mendirikan shalat di sana. Meskipun demikian, tempat ini tidak disyari’atkan untuk diusap apalagi dicium karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu disyari’atkan.
Maka dengan ini diketahui bahwa semua maqam itu tidak boleh didatangi dengan sengaja untuk melakukan shalat di sana, tidak disyari’atkan untuk mengusap dan tidak boleh menciumnya, bahkan semua benda yang ada di atas bumi ini tidak boleh dicium (dalam rangka ibadah-red) kecuali Hajar Aswad[11]
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama yaitu mereka rela berdesak-desakan disekitar tempat-tempat yang dianggap keramat atau kubah dan tempat lainnya agar mereka bisa mencium, mengusapnya, bertabarruk dengannya dan mereka memohon pertolongan kepadanya dan berbagai perbuatan lainnya, maka itu sama sekali bukan bagian dari ajaran agama Islam. Itu adalah sebentuk kesesatan nyata dan perbuatan mengada-ada.
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun mengusap kuburan yaitu kuburan mana saja dan menciumnya atau menempelkan pipi padanya, maka itu merupakan perbuatan terlarang berdasarkan kesepakatan para Ulama kaum Muslimin, sekalipun kuburan itu merupakan kuburan para Nabi. Tidak ada seorang pun para pendahulu umat ini yang melakukan itu, tidak juga para imamnya, bahkan itu termasuk perbuatan syirik.”[12]
Inilah sebagian pelajaran penting terkait akidah yang benar yang bisa kita petik dari ibadah mencium Hajar Aswad yang dilakukan oleh kaum Muslimin yang sedangkan melakukan ibadah thawaf.
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk senantiasa berada di atas akidah yang benar sampai kita diwafatkan oleh Allâh Azza wa Jalla
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari Durus Aqadiyah Mustafâdatun minal Hajj karya Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah
[2] Shahîh al-Bukhâri, no. 1641 dan Shahîh Muslim, no. 1235
[3] Shahîh al-Bukhâri, no. 1603 dan Shahîh Muslim, no. 1261
[4] Shahîh Muslim, 2/893
[5] Shahîh al-Bukhâri, no. 1597 dan Shahîh Muslim, no. 1270
[6] Dinukil oleh al-hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath, 3/463
[7] Shahîh al-Bukhâri, no. 1609 dan Shahîh Muslim, no. 1269
[8] Keduanya disebut rukun yamani karena kedua pojok tersebut menghadap kearah Yaman
[9] Nama sebuah tempat di masjidil Aqsha
[10] Majmû’ al-Fatâwa, 26/121
[11] Majmû’ al-Fatâwa, 17/476
[12] Majmû’ al-Fatâwa, 27/91-92
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6031-mengapa-mencium-hajar-aswadan-mengucap-rukun-yamani.html